Entah mengapa, aku benci mereka, mungkin karena kedua adik
perempuanku mereka siksa dan bunuh secara keji di desa kami. Atau
mungkin karena ayahku mereka siksa dan tangkap bertahun-tahun lalu di
desa kami. Atau yang paling memungkinkan, karena mereka membantai
seluruh ibu-ibu di desa kami, termasuk ibuku! Intinya aku membenci
mereka dengan sejuta alasanku.
Merekalah yang selama ini senang akan segala penderitaan kami,
merekalah yang selalu mencari-cari alasan untuk menyiksa, membunuh,
memperkosa, atau merampas barang-barang kami. Mereka itulah Kaum yang
telah Allah kutuk dan murkai. Mereka Yahudi! Dan dengan segala sifat dan
keburukan yang mereka warisi dari nenek moyang mereka. Kini aku akan
membalas, aku dan dua kawanku akan membalas perbuatan mereka.
Kami berencana melakukan suatu hal yang pasti akan membuat setidaknya
kesal salah seorang tentara laknat itu, kami tahu, mungkin tidak akan
berpengaruh banyak bagi perlawanan ini, tapi kami tahu, itulah yang
mereka sangat benci dari negri kami, “Anak-anak yang sangat nakal dan
kurang ajar!” itu kata mereka.
Kami tidak sembarang memilih target, kami telah memantau, menilai dan
mengerjai mereka puluhan kali. Maka kami tahu sekarang, kami harus
mengincar tentara berpangkat tinggi agar mendapak efek yang luar biasa
besar. Tidak sulit bagi kami yang bertubuh kecil untuk bergerak tanpa
terlihat. Kami bertiga telah terbiasa puasa sehingga badan kami kurus
dan gesit.
Rencana kami adalah mempermalukan salah seorang perwira tentara itu
dengan membakar celananya tepat di bawah tempat duduk santainya. Ia
adalah Komandan resimen yang berkemah di dalam kota. Setiap pagi
kerjanya hanya mengamati para perajuritnya berbaris dan berteriak
menyuruh mereka membersihkan kota dari puing-puing bekas pemboman kota
tersebut. Kami tahu jadwal ia duduk di kursi malasnya itu, dan
kesempatan datang hari ini, bahan-bahan untuk melancarkan misi pun telah
terkumpul.
Pagi ini, sebelum Sang Komandan dan pasukannya bangun, seusai sholat
Subuh, kami mengendap-endap ke perkemahan kemudian meletakkan
bahan-bahan di bawah kursi Sang Komandan. Lalu kami pun pergi
bersembunyi. Tugaskulah untuk memastikan misi ini berjalan dengan
lancar. Maka kedua kawanku, Abdullah dan Amar, segera pergi untuk
sembunyi. Sementara aku sembunyi tak jauh dari kursi Komandan untuk
menyulut api pada kain panjang yang kami setengah kubur di pasir yang
berhubungan dengan kursi Komandan.
Setelah setengah jam menunggu, salah satu pasukan pun bangun dan
mulai membangunkan seluruh tentara kecuali Komandan. Tak lama kemudian
sambil berteriak dalam bahasa Ibrani Sang Komandan berteriak-teriak.
Pasukan pun segera berkumpul di depan tenda Komandan dalam keadaan
berbaris. Sekitar 30 jumlah mereka. Maka dengan bismillah aku memulai
aksi. Menyaksikan apiku merambat dengan cepat melalui kain, jantungku
berdegup keras.
Tak lama aku mendengar seseorang berteriak, tak salah lagi itu Sang
Komandan pasukan. Tanpa sadar aku pun tertawa, yang sebenarnya dapat
membahayakan diriku, namun aku tidak tertawa sendiri. Para pasukan
resimen itu pun tertawa melihat Komandan mereka tersulut api dan
melompat-lompat memegangi celananya yang hangus terbakar. Setelah api di
celananya padam dalam beberapa detik. Sontak Sang Komandan berteriak
dan seluruh pasukan berhenti tertawa, karena aku yang tidak mengerti
bahasanya, aku tetap tertawa, sehingga seluruh pasukan dan Sang Komandan
melihatku di tempat persembunyian. Sang Komandan berteriak lagi dan
seluruh pasukan terlihat akan mengejarku, dengan panik aku pun segera
berlari ke arah dua temanku bersembunyi. Aku berteriak, “Abdullah, Amar,
Lari!”
Mereka pun segera bangkit dan berlari, tiba-tiba aku mendengar
serentetan tembakan yang memekakkan telinga kecilku, lalu kulihat di
depanku, kedua kakak beradik temanku itu jatuh terjerembab dengan tak
kurang selusin luka tembak di punggung mereka masing-masing. Aku terpana
dan berhenti berlari.
Sekali lagi aku mendengar teriakan Komandan dan suara tembakan
terdengar, kali ini hanya satu tembakan. Segera kurasakan kakiku seperti
terbakar, aku tertembak. Kakiku seperti patah dan lumpuh. Sakitnya tak
pernah kurasakan. Aku pun terjatuh, tak lama kemudian muncul di atasku
tiga bayang-bayang tentara. Salah satunya adalah Komandan yang kami
sulut tadi. Mukanya merah bukan main. Ia memaksaku berdiri. Kemudian
meninju perutku dengan keras. Berkali-kali. Aku sudah tak bisa
berteriak, aku ingin menangis, lagi, dua temanku tewas di tangan mereka.
Kali ini di depan mataku. Aku terus menerus dipukul sehingga aku
pingsan.
Ketika terbangun aku berada di ruangan ini. Bersama seorang tua yang
sudah lumpuh. Aku bertanya padanya, “Di mana ini?” Ia menjawab dengan
senyum tulus, “Ini di rumah, karena kau tak mungkin meninggalkannya
lagi, sekolah kalau kau mau belajar, dan penjara jika kau ingin
menganggapnya begitu.”
Aku tak mengerti kata-kata bapak tua itu, tapi aku tahu ia benar soal
penjara, karena aku melihat besi-besi penghalang yang menghalangiku
keluar ruangan itu. Berhari-hari aku hanya tidur dan melamun. Aku makan
berdua dengan bapak tua itu, kami diberi jatah setengah potong roti basi
yang harus kami bagi berdua.
Aku sudah beberapa hari tidak sholat, karena aku tidak tahu bagaimana
aku harus berwudhu dengan air kami yang hanya segelas itu? Namun
kulihat bapak tua itu selalu melakukan gerakan-gerakan seperti sholat
dengan duduk setiap waktu sholat.
Akhirnya hari itu, setelah waktu Dzuhur yang aku tahu sudah lewat
beberapa jam yang lalu, aku bertanya padanya, “Kek, bagaimana caranya
sholat tanpa air?”
Ia menjawab, “bertayamumlah Nak.”
“Bagaimana caranya?” aku bertanya.
Maka ia mengajariku cara-cara bertayamum dengan debu pada dinding
penjara. Mulai hari itu aku pun sholat dengan bertayamum dan berjama’ah
dengan kakek itu setiap waktu sholat tiba.
Setelah aku rasa sebulan aku di sel itu, seorang tentara datang dan
membuka pintu sel kami. Ia menyuruhku untuk mengikutinya dengan bahasa
yang aku kenal. Aku pun pergi mengikutinya. Kami pergi melalui sebuah
lorong panjang yang di kanan kirinya terdapat pintu-pintu seiring aku
lewat, aku mendengar teriakan dan rintihan dari balik pintu-pintu
tersebut, aku merinding dan takut.
Sampailah aku pada suatu pintu di mana tentara yang membawaku itu pun
berhenti. Ia memerintahkanku untuk masuk kedalam ruangan. Kemudian aku
masuk dan duduk di sebuah ruangan kosong tersebut. Sang tentara berbalik
keluar dan mengunci pintu tersebut. Sepuluh menit kemudian datanglah
seorang tentara berwajah muram dengan tas besar dan terlihat berat
membuka pintu dan duduk di kursi di depan meja di tengah-tengah ruangan
itu.
Ia bertanya padaku pertanyaan dalam bahasa ibuku, “Siapa namamu Nak?”
Aku menjawab, “Umar!”
Kemudian ia bertanya lagi, “Di mana rumahmu?”
“Kalian menghancurkan rumah dan seluruh desaku dan desa tetanggaku 2 tahun yang lalu!” jawabku marah.
“Lalu kau berniat membalas itu dengan membentuk kelompok-kelompok pemuda yang menggangu tentara kami di lapangan?”
Aku berkata sambil setengah tertawa, “Huh, kalian pikir kami sebanyak
itu eh? Satu-satunya kelompok yang kubentuk hanya beranggotakan tiga
orang dan kalian telah membunuh dua di antaranya sebelum aku tertangkap,
dan kini satu-satunya anggota yang tersisa hanyalah seorang anak muda
pincang yang ada di depanmu ini.”
Tentara itu marah dan menamparku dengan keras sambil berteriak,
“Jangan Bohong! Katakan! Di mana teman-teman kecilmu yang brengsek itu?”
Aku hanya terdiam sambil meringis dan berzikir. Dia marah dan
menendangku berkali-kali setiap tendangan aku bertakbir keras. Ia
semakin marah dan melakukan itu terus menerus hingga ia lelah.
Kemudian berkata, “Mungkin besok kau mau jujur, tapi hari ini aku ambil oleh-oleh darimu agar kau ingat untuk jujur esok.”
Ia membuka tasnya dan mengeluarkan sebuh penjepit besar dari
dalamnya, ia mendekatiku dan menarik kakiku yang lumpuh. Kemudian ia
menjepit kuku ibu jari kakiku dan mulai menariknya. Karena rasa sakitnya
akupun berteriak dan hampir lupa menyebut nama Allah. Aku berteriak
sekeras-kerasnya karena sakitnya bukan main. Ia mencabut kuku jari
kakiku dengan penjepit tersebut. Aku pun menangis.
Ia berkata, “Itulah akibatnya jika bermain-main dengan kami anak kecil!”
Kemudian ia pun pergi dan masuklah tentara yang mengantarkanku tadi
dan menyuruhku untuk segera berdiri dan mengikutinya lagi. Sambil
meringis menahan sakit pada ibu jari kakiku akupun berdiri dan
mengikutinya pergi. Keluar ruangan dan menyusuri koridor tadi yang masih
dipenuhi teriakan dan rintihan dari balik pintu-pintu di kanan kirinya.
Tentara yang membawaku ini membawaku ke sebuah sel yang lebih besar
dari selku yang pertama, di dalamnya ada empat orang sedang duduk. Sang
tentara menyuruhku masuk setelah membuka sel tersebut, dan segera
menguncinya begitu aku masuk.
Seorang pria dan tiga orang pemuda yang kukira umurnya hanya berbeda
dua tahun dari umurku sekarang. Itulah penghuni sel baruku ini. Pria
yang paling tua mendekatiku dan merobek bagian lengan bajunya dan
mengikatnya di ibu jari kakiku yang kukunya sudah tidak ada dan masih
mengucurkan darah itu.
Ia bertanya, “Apa yang mereka tuduhkan atasmu?”
“Mereka menuduhku membuat kelompok-kelompok anak kecil yang mengganggu pasukan mereka di lapangan,” jawabku lemah.
“Apakah kau melakukan itu semua?” tanyanya lagi.
Aku menjawab, “Yang kulakukan adalah bersama kedua temanku mengerjai Komandan mereka, hingga mereka membunuh kedua temanku itu”.
Ia berkata, “Mereka memang selalu menuduh kita berlebihan, mereka
hanya ingin menyiksa kita, lebih baik kalau kau tutup mulut dan berzikir
untuk menghindari siksaan. Bacalah Al-Qur’an dalam hati agar
menenangkan.”
“Aku belum bisa membaca Al-Qur’an dan belum hafal banyak surat-surat
pendek, ayahku ditangkap ketika aku kecil dan ibuku meninggal saat
pembantaian di desa kami, aku selamat karena saat itu sedang menginap di
rumah tanteku di kota,” jawabku.
“Kalau begitu, belajarlah denganku dan ketiga anakku, Faiz, Zaid dan Yahya. Dan aku Musthofa,” katanya.
“Kami berhasil menyelundupkan Al-Qur’an ke sini,” lanjutnya lagi.
“Baiklah, aku akan belajar darimu, namaku Umar!” kataku.
Sejak itu aku sholat, makan, dan belajar Qur’an dengan ustadz
Musthofa dan ketiga anaknya. Ustadz Musthofa ternyata memang seorang
guru mengaji dan sudah hafal 30 juz Al-Quran di luar kepalanya. Ia pun
membaca dengan lembut dan tartil. Selama beberapa bulan aku belajar
bersamanya.
Hingga suatu hari setelah belajar Al-Qur’an aku bercerita tentang
hari kedatanganku ke penjara ini. Dan aku bertanya pada ustadz Musthofa
tentang pria tua yang satu sel denganku pertama kali, dia menjawab
dengan berseri-seri, “Dia adalah guru kami semua di penjara ini, ia
adalah inspirasi anak-anak muda kita, ia adalah Sheikh Ahmad Yassien, ia
akhirnya dibebaskan belum lama ini, alhamdulillah.”
Aku hanya menganguk-angguk tidak mengerti pengaruh pria tua itu
terhadap orang-orang di penjara ini. Setahun sudah aku belajar Qur’an
dengan ustadz Musthofa. Dan dari hasil didikannya akupun kini tidak
terlalu banyak mengeluh dalam ruang interogasi, bahkan aku tidak
menjawab apapun pertanyaan-pertanyaan palsu mereka. Biarpun mereka
mencabut beberapa lagi kuku-kuku kakiku, aku pun tidak terlalu merasa
sakit, karena aku tahu aku memiliki obatnya, yaitu Al-Qur’an, yang
semakinku baca semakin berkurang rasa sakitku. Hingga pada suatu ketika,
di ruang interogasi. Pria yang biasa menyiksaku kini menampilkan wajah
senang yang luar biasa.
Aku tidak takut lagi terhadapnya, karena sudah hampir habis kuku-kuku
di jari tangan maupun kakiku. Namun dia berwajah senang dan aku agak
mengkhawatirkan hal itu, karena apa pun yang membuatnya senang adalah
berkaitan dengan kesakitanku. Dia berkata, “Aku membawa bukti sekarang
anak kecil.”
“Tiga orang bukti dan saksi yang kami tangkap melakukan keusilan yang
serupa dengan yang kau lakukan pada pasukan kami di lapangan.”
“Mereka anak kecil, dan mereka mengaku berasal dari desa yang sama tempat kau tinggal dulu,” katanya.
“Aku akan menyiksa mereka di depanmu sampai kau mengaku bahwa kaulah
pemimpin mereka, atau mereka mengaku di bawah kepemimpinanmu.”
Aku hanya diam. Lalu masuklah tiga anak kecil yang umurnya lebih muda
sdariku sekitar 3 tahun. Mereka semua berwajah ketakutan. Sang penyiksa
mengeluarkan belati dari dalam tasnya dan mendekati ketiga anak kecil
tersebut. Aku hanya melihat dari kursiku dalam keadaan terikat erat.
Ia mengitari mereka satu kali dan bertanya kepada yang paling kanan, “Siapa namamu?”
Anak kecil itu dengan gemetar menjawab, “H…Hasan.”
“Apakah kau mengenali kakak ini eh, Hasan?” tanya Sang penyiksa.
Hasan menjawab, “A…Aku tidak mengenalnya.”
Lalu Sang penyiksa dengan marah mencengkeram rambut Hasan dan
menempelkan belati pada pipinya, dan mulai mengiris pipi tersebut sambil
berkata, “Berani berbohong eh?”
Hasan berteriak kesakitan. Aku miris mendengarnya namun tetap diam sambil berdoa untuk kekuatan Hasan.
Kemudian Sang penyiksa melepas Hasan setelah kedua pipinya tergores luka dalam dan mengucurkan darah. Hasan tetap menangis.
Sang penyiksa berdiri di tengah kedua anak kecil lainnya sambil mengamati mereka bergantian.
Kemudian menatapku dan berkata, “Belum mau mengaku kalau mereka anak buahmu eh? Bocah kurang ajar!”
Aku diam dan berharap ia tidak menyiksa kedua anak lainnya.
Namun harapanku pupus, ia malah semakin memperparah siksaan terhadap
kedua anak lainnya, hingga hatiku miris dan tanpa sadar aku berteriak,
“Berhenti!”
“Aku memang pemimpin mereka, aku yang memerintahkan mereka mengganggu pasukanmu,” kataku berbohong.
Ia tertawa. “Ha ha ha, kini kau mengaku setelah melihat anak buahmu
disiksa, padahal aku baru saja mulai bersenang-senang,” katanya bengis.
“Tapi tidak apa, aku masih banyak waktu untuk menyiksa mereka, tapi
kau, kau akan kami hukum mati besok, karena pengakuanmu ini,” Sang
penyiksa berkata lagi.
Lalu ia keluar dan menyuruh sorang tentara membawa kami berempat menuju sel kami dan bertemu dengan ustadz Musthofa.
Aku menceritakan segala kejadian yang berlangsung di dalam ruang
interogasi dan ia berkata, “Subhanallah, kau telah ditetapkan untuk
syahid demi menolong anak-anak terlantar ini Nak. Insya Allah Jannah
Firdaus akan menantimu,” aku hanya mengangguk dan mencari posisi untuk
tidur malam itu. Sebelum tidur aku menulis memo. Lalu aku
mengulang-ulang hafalanku sambil berbaring.
Pagi itu Umar bangun dan terlihat tenang sekali, seusai sholat shubuh
berjama’ah, ia dan kedelapan penghuni sel yang sempit itu mengaji
bergantian. Dengan hanya satu mushaf dan dengan penerangan yang sangat
minim.
Sebelum matahari terbit, datang tiga orang tentara Yahudi membuka sel
dan menarik Umar. Mereka membawa Umar pagi itu. Hingga siang hari,
tidak ada tanda-tanda kembalinya Umar.
Salah seorang penghuni sel itu, ustadz Musthofa, bertanya kepada
tukang bersih-bersih yang selalu lewat sel mereka, “Ke mana anak muda
itu mereka bawa pergi?” tanyanya.
Ia menjawab, “Mereka membawanya ke tengah lapangan dan
menelanjanginya dan mengikatnya di belakang kuda, sambil memacu kudanya
dan yang lain menembaki kaki pemuda itu dan ia diseret dengan cara
seperti itu hingga ia tewas.”
Ustadz Musthofa kaget dan kemudian berkata, “Innalillahi wainnailaihi
raajiuun, sungguh kejam mereka,” ia memberi tahu kabar ini kepada
ketiga anaknya dan kepada ketiga anak kecil di sel mereka, dan mereka
pun mendoakan Umar.
Siang itu, setelah mereka sholat dan makan, ketika hendak mengaji,
mereka mencium aroma yang luar biasa wangi dan semerbak di seluruh
ruangan, dan terutama wangi yang keluar dari mushaf yang mereka pegang,
sungguh harum baunya, sampai ustadz Musthofa berkata, “Mungkin ini
adalah aroma parfum saudara kita Umar, ia telah dijemput dan dimandikan
bidadari hari ini, dan aromanya tercium hingga ke mari.”
Hari itu, bumi kehilangan satu lagi mujahid tangguh, mujahid
bertamengkan Al-Qur’an, mujahid muda yang berani, dan seorang Hafidz.
(Senin, 22 Desember 2003, Asy-Syahid Al-Hafidz Umar al-Faroouq, 14 tahun, Penjara Nablus, Israel)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar