Minggu, 18 Desember 2016

PENYAKIT HATI

B A B  I
PENDAHULUAN
 
Setiap anggota tubuh diciptakan untuk suatu fungsi tertentu. Maka ia disebut sedang dalam keadaan sakit apabila tak lagi memiliki kemampuan untuk melaksanakan fungsinya itu, baik secara keseluruhan ataupun sebagiannya saja.
Penyakit tangan menyebabkan tangan tak mampu melaksanakan fungsinya, yaitu memegang. Sedangkan penyakit mata menyebabkan mata tak mampu melaksanakan fungsinya, yaitu melihat.
Demikian pula penyakit hati, menyebabkan hati tak mampu melakukan fungsinya yang khas, yang memang itu diciptakan untuknya. Yaitu, pengetahuan, hikmah, ma’rifah, cinta kepada Allah, beribadah untuk dan kepada-Nya, merasakan kenikmatan apabila menyebut atau mengingat-Nya, mengutamakan-Nya di atas segala keinginan selain-Nya, serta mengerahkan semua dorongan jiwa dan anggota tubuh demi melaksanakan semua itu. Firman Allah SWT :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ  
“dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Adz-Dzariat: 56)
B A B  II
PEMBAHASAN
 
Ø  Penyakit Hati dan Cara Mengobatinya
Hati yang dalam bahasa Arab berarti Qalbun adalah bagian yang sangat penting pada manusia. Jika hati kita baik, maka baik pula seluruh amal kita:
Rasulullah saw. bersabda, “….Bahwa dalam diri setiap manusia terdapat segumpal daging, apabila ia baik maka baik pula seluruh amalnya, dan apabila ia itu rusak maka rusak pula seluruh perbuatannya. Gumpalan daging itu adalah hati.” (HR Imam Al-Bukhari)
Sebaliknya, orang yang dalam hatinya ada penyakit, sulit menerima kebenaran dan akan mati dalam keadaan kafir.
وَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَى رِجْسِهِمْ وَمَاتُوا وَهُمْ كَافِرُونَ   
Orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, disamping kekafirannya yang telah ada dan mereka mati dalam keadaan kafir.” [At Taubah 125]
Oleh karena itu penyakit hati jauh lebih berbahaya daripada penyakit fisik, maka kita perlu mengenal beberapa penyakit hati yang berbahaya serta bagaimana cara menyembuhkannya.
1.      Sombong
Sering orang karena jabatan, kekayaan, atau pun kepintaran akhirnya menjadi sombong dan menganggap rendah orang lain. Bahkan Fir’aun yang takabbur sampai-sampai menganggap rendah Allah dan menganggap dirinya sebagai Tuhan. Kenyataannya Fir’aun adalah manusia yang akhirnya bisa mati karena tenggelam di laut.
Allah melarang kita untuk menjadi sombong:
وَلا تَمْشِ فِي الأرْضِ مَرَحًا إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الأرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولا
Janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” [Al Israa’ 37]
Ÿوَلا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلا تَمْشِ فِي الأرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ  
Janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia karena sombong dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [Luqman 18]
Allah menyediakan neraka jahannam bagi orang yang sombong:
ادْخُلُوا أَبْوَابَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا فَبِئْسَ مَثْوَى الْمُتَكَبِّرِينَ  
Masuklah kamu ke pintu-pintu neraka Jahannam, sedang kamu kekal di dalamnya. Maka itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang sombong .” [Al Mu’min 76]
Kita tidak boleh sombong karena saat kita lahir kita tidak punya kekuasaan apa-apa. Kita tidak punya kekayaan apa-apa. Bahkan pakaian pun tidak. Kecerdasan pun kita tidak punya. Namun karena kasih-sayang orang tua-lah kita akhirnya jadi dewasa. Begitu pula saat kita mati, segala jabatan dan kekayaan kita lepas dari kita. Kita dikubur dalam lubang yang sempit dengan pakaian seadanya yang nanti akan lapuk dimakan zaman.
Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya’ ‘Ulumuddin menyatakan bahwa manusia janganlah sombong karena sesungguhnya manusia diciptakan dari air mani yang hina dan dari tempat yang sama dengan tempat keluarnya kotoran.
Bukankah Allah mengatakan pada kita bahwa kita diciptakan dari air mani yang hina.
  
Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina?” [Al Mursalaat 20]
Saat hidup pun kita membawa beberapa kilogram kotoran di badan kita. Jadi bagaimana mungkin kita masih bersikap sombong?
2.      Dusta
Adapun Al-Kadzib (kebohongan), maka perbuatan ini akan mengantarkan pada kejahatan, yaitu berpalingnya dari sifat istiqamah. Ada juga yang mengatakan bahwa kebohongan adalah kemaksiatan yang paling cepat menyebar. Tentang tercelanya membicarakan segala sesuatu yang ia dengar, Rasulullah bersabda, “Cukuplah seseorang dianggap pendusta jika ia selalu membicarakan segala sesuatu yang ia dengar”. (HR. Muslim 1/10)
Abdullah bin  ‘Amr  berkata,  “Rasulullah  pernah datang ke rumah kami, waktu itu aku masih kecil, akupun keluar utk bermain. Ibuku kemudian memanggil, “Ya Abdullah kemari, nanti akan ibu beri sesuatu”. Maka Rasulullah  bertanya: “Apa yang akan kamu berikan?” Dia mejawab, “Saya akan memberi kurma”. Rasulullah  kemudian bersabda, “Seandainya engkau tak melakukan (apa yang engkau katakan), berarti telah dicatat atasmu satu kedustaan.” (HR. Abu Daud no. 4991)
Nabi  bersabda, “Seseorang yang senantiasa & terbiasa dgn dusta akan dicatat di sisi Allah ta’ala sebagai pendusta.” (HR. Bukhari 10/423, Muslim no. 2606).
Faktor pendorong berbuat dusta :
Motif yang mendorong orang-orang yang memiliki jiwa nista untuk melakukan kedustaan cukup banyak, diantaranya adalah :
1.      Sedikitnya rasa takut kepada Allah Ta’ala dan tidak adanya perasaan bahwa Allah Ta’ala selalu mengawasi setiap gerak-geriknya, baik yang kecil maupun yang besar.
2.      Upaya mengaburkan fakta, baik bertujuan utk mendapatkan keuntungan atau mengurangi takaran, dgn maksud menyombongkan diri atau utk memperoleh keuntungan dunia, ataupun karena motif-motif lainnya. Misalnya saja: orang yang berdusta tentang harga beli tanah atau mobil, atau menyamarkan data-data yang tidak akurat tentang wanita yang akan dipinang yang dilakukan pihak keluarganya.
3.      Mencari perhatian dgn membawakan cerita-cerita fiktif dan perkara-perkara yang dusta.
4.      Tidak adanya rasa tanggung jawab dan berusaha lari dari kenyataan, baik dlm kondisi sulit ataupun kondisi lainnya.
5.      Terbiasa melakukan dusta sejak kecil. Ini  merupakan hasil pendidikan yang buruk. Karena, sejak tumbuh kuku-kukunya (sejak kecil), sang anak biasa melihat ayah dan ibundanya berdusta, sehingga ia tumbuh dan berkembang dlm lingkungan sosial semacam itu.
6.      Merasa bangga dgn berdusta, ia beranggapan bahwa kedustaan menandakan kepiawaian, tingginya daya nalar, dan perilaku yang baik.
                
3.      ‘Ujub (kagum akan diri sendiri)
Ini mirip dengan sombong. Kita merasa bangga atau kagum akan diri kita sendiri. Padahal seharusnya kita tahu bahwa semua nikmat yang kita dapat itu berasal dari Allah. Jika kita mendapat keberhasilan atau pujian dari orang, janganlah ‘ujub. Sebaliknya ucapkan “Alhamdulillah” karena segala puji itu hanya untuk Allah.
            Berhati-hatilah dengan penyakit ujub, sebab jika sudah menjangkit kedalam hati hanya akan menimbulkan keburukan. Ujub merusak dan menghancurkan amal kebaikan. Rasulullah SAW bersabda:
ثَلاَثٌ مُهلِكَاتٌ شُحٌّ مُطَاعٌ وَهَوَيً مُتَّبَعٌ وَاِعْجَابُ المَوءِ بِنَفْسِهِ
Artinya       : Tiga perkara yang dapat menghancurkan, yaitu : kebakhilan yang ditaati, hawa nafsu yang dituruti dan ujub seseorang terhadap dirinya.
Mula-mula ujub itu hanya berada di dalam hati, yakni mengganggap dirinya paling mulia, paling segala-galanya dan paling sempurna dibandingkan orang lain. Karena dengan anggapan yang demikian itu maka hatinya merasa puas dan bangga atas apa yang dirasa. Kemudian berkembang menjadi sebuah perkataan yang menggungkapkan tentang pandangan manusia kepada dirinya sendiri yang mulia. Padahal yang demikian ini sangat dicela dalam agama dan dibenci Allah, karena seseorang telah di jangkiti penyakit ujub maka ada sikap meremehkan dalam berbuat amal, maka tepatlah kiranya jika ujub ini adalah pangkal kemaksiatan, kelalaian dan kesenangan nafsu untuk merasa puas kepada dirinya, sedangkan orang yang merasa puas dengan dirinya sendiri karena menganggap sempurna, maka dia akan buta dengan kelemahan-kelemahan yang dia miliki.
Ibnu Mas’ud berkata bahwa faktor penyebab keselamatan manusia itu ada dua perkara, yaitu bertaqwa dan menanamkan niat yang sungguh-sungguh. Seangkan faktor penyebab kecelakaan atau kebinasaan juga dua perkara, yaitu putus asa dan membanggakan diri.
            Bahaya ujub sebagaimana riya’ merupakan syirik kecil, demikian pula ujub merupakan syirik kecil juga. Riya’ merupakan syirik dari sisi orang yang beramal saleh menyertakan orang lain bersama Allah dalam mencari ganjaran berupa pujian dan sanjungan, sedangkan ujub merupakan kesyirikan dari sisi orang yang beramal saleh menyertakan dirinya bersama Allah dalam keberhasilanya beramal saleh, seakan-akan bukan allah semata yang menjadikanya berhasil beramal saleh akan tetapi ia juga turut andil dalam keberhasilanya beramal saleh.
كَرَّرَهُ زِيَادَةً فِي التَّنْفِيْرِ وَمُبَالَغَةً فِي التَّحْذِيْرِ، وَذَلِكَ لِأَنَّ الْعَاصِي يَعْتَرِفُ بِنَقْصِهِ فَيُرْجَى لَهُ التَّوْبَةُ وَالْمُعْجَبُ مَغْرُوْرٌ بِعَمَلِهِ فَتَوْبَتُهُ بَعِيْدَة
Artinya : "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengulangi-ngulanginya (*ujub !, ujub !) sebagai tambahan (penekanan) untuk menjauhkan (*umatnya) dan sikap berlebih-lebihan dalam mengingatkan (*umatnya). Hal ini dikarenakan pelaku maksiat mengakui kekurangannya maka masih diharapkan ia akan bertaubat, adapun orang yang ujub maka ia terpedaya dengan amalannya, maka jauh/sulit baginya untuk bertaubat" (At-Taisiir bisyarh Al-Jaami' as-Shoghiir 2/606)
Tanda-tanda terjangkit penyakit ujub :
Menurut Almunaawi Assyafi’i menyebutkan bahwasanya diantara tanda-tanda orang ujub adalah :
1.      Dia merasa heran jika doanya tidak dikabulkan oleh Allah. Dia merasa bahwa ketaqwaanya dan amalanya mengharuskan doanya dikabulkan oleh Allah hal ini menunjukkan ujubnya dengan amalan saleh karenanya tatkala doanya tidak dikabulkan merasa heran.
2.      Jika orang yang mengganggunya ditimpa musibah, maka dia merasa bahwa itu merupakan karomahnya.
Untuk mengobati penyakit ujub, diantaranya sebagai berikut :
1.      Menyadari bahwasanya mampunya kita beramal sholeh adalah semata-mata kemudahan dan karunia dari Allah, firman allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَنْ يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ   
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah- langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, Maka Sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” [An-Nuur : 21]
2.      Banyak ibadah yang agung yang disyari'atkan untuk diakhiri dengan istighfar. Hal ini agar para pelaku ibadah-ibadah tersebut tidak merasa ujub dengan ibadah-ibadah yang telah mereka lakukan, akan tetapi tetap merasa dan sadar bahwa ibadah yang mereka lakukan tetap ada kekurangannya.
4.      Iri dan Dengki
Allah melarang kita iri pada yang lain karena rezeki yang mereka dapat itu sesuai dengan usaha mereka dan juga sudah jadi ketentuan Allah.
Ÿوَلا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا  
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [An Nisaa’ 32]
Iri hanya boleh dalam 2 hal. Yaitu dalam hal bersedekah dan ilmu. “Tidak ada iri hati kecuali terhadap dua perkara, yakni seorang yang diberi Allah harta lalu dia belanjakan pada jalan yang benar, dan seorang diberi Allah ilmu dan kebijaksaan lalu dia melaksanakan dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)
Jika kita mengagumi milik orang lain, agar terhindar dari iri hendaknya mendoakan agar yang bersangkutan dilimpahi berkah. “Apabila seorang melihat dirinya, harta miliknya atau saudaranya sesuatu yang menarik hatinya (dikaguminya) maka hendaklah dia mendoakannya dengan limpahan barokah. Sesungguhnya pengaruh iri adalah benar.” (HR. Abu Ya’la)
Dengki lebih parah dari iri. Orang yang dengki ini merasa susah jika melihat orang lain senang. Dan merasa senang jika orang lain susah. Tak jarang dia berusaha mencelakakan orang yang dia dengki baik dengan lisan, tulisan, atau pun perbuatan. Oleh karena itu Allah menyuruh kita berlindung dari kejahatan orang yang dengki:
وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ  
Dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki.” [Al Falaq 5]
Kedengkian bisa menghancurkan pahala-pahala kita. “Waspadalah terhadap hasud (iri dan dengki), sesungguhnya hasud mengikis pahala-pahala sebagaimana api memakan kayu.” (HR. Abu Dawud)
5.      Riya’
Riya’ adalah berbuat kebaikan/ibadah dengan maksud pamer kepada manusia, agar orang mengira dan memujinya sebagai orang yang baik atau gemar beribadah seperti shalat, puasa, sedekah, dan sebagainya.
Ciri-ciri riya:
Orang yang riya berciri tiga, yakni apabila di hadapan orang dia giat tapi bila sendirian dia malas, dan selalu ingin mendapat pujian dalam segala urusan. Sedangkan orang munafik ada tiga tanda yakni apabila berbicara bohong, bila berjanji tidak ditepati, dan bila diamanati dia berkhianat.” (HR. Ibnu Babawih).
Orang yang riya’, maka amal perbuatannya sia-sia belaka.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالأذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ  
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia.” [QS. Al-Baqarah: 264]
"Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, yang berbuat karena riya.” [Al Maa’uun 4-6]
Imam Al Ghazali mengumpamakan orang yang riya’ itu sebagai orang yang malas ketika dia hanya berdua saja dengan rajanya. Namun ketika ada budak sang raja hadir, baru dia bekerja dan berbuat baik untuk mendapat pujian dari budak-budak tersebut.
Seperti itulah orang riya’. Ketika hanya berdua dengan Allah Sang Raja Segala Raja, dia malas dan enggan beribadah. Tapi ketika ada manusia yang tak lebih dari hamba/budak Allah, maka dia jadi rajin shalat, bersedekah, dan sebagainya untuk mendapat pujian para budak.
Agar terhindar dari riya’, kita harus meniatkan segala amal kita untuk Allah ta’ala (Lillahi ta’ala).
6.      Bakhil atau Kikir
Bakhil alias Kikir alias Pelit alias Medit adalah satu penyakit hati karena terlalu cinta pada harta sehingga tidak mau bersedekah.
Ÿ  
Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [Ali ‘Imran 180]
Padahal segala harta kita termasuk diri kita adalah milik Allah. Saat kita lahir kita tidak punya apa-apa. Telanjang tanpa busana. Saat mati pun kita tidak membawa apa-apa kecuali beberapa helai kain yang segera membusuk bersama kita.
Sesungguhnya harta yang kita simpan itu bukan harta kita yang sejati. Saat kita mati tidak akan ada gunanya bagi kita. Begitu pula dengan harta yang kita pakai untuk hidup bermegah-megahan seperti beli mobil dan rumah mewah.
  
Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.” [Al Lail 8-11]
Yang justru jadi harta yang bermanfaat bagi kita di akhirat nanti adalah harta yang kita belanjakan di jalan Allah atau disedekahkan. Harta tersebut akan jadi pahala yang balasannya adalah istana surga yang luasnya seluas langit dan bumi.
  
Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” [Al Hadiid 21]
  
 
B A B III
KESIMPULAN
 
Penyakit hati merupakan penyakit di dalam jiwa yang lebih parah dari penyakit fisik. Karena bilamana hati seseorang sakit, atau bahkan buruk, maka perilakunya pun demikian. Contoh-contoh penyakit hati seperti :
1.      Sombong : memamerkan apa yang dia punya padahal sesungguhnya semua yang ada di dunia ini hanya milik Allah.
2.      Dusta : kebohonganlah yang akan membawa seseorang pada kejahatan.
3.      ‘Ujub : mula-mula ujub itu hanya berada di dalam hati, yakni mengganggap dirinya paling mulia, kemudian berkembang menjadi sebuah perkataan yang menggungkapkan tentang pandangan manusia kepada dirinya sendiri yang mulia. Padahal yang demikian ini sangat dicela dalam agama dan dibenci Allah, karena seseorang telah di jangkiti penyakit ujub maka ada sikap meremehkan dalam berbuat amal.
4.      Iri dan dengki : iri hanya boleh dalam 2 hal. Yaitu dalam hal bersedekah dan ilmu.
5.      Riya’ : berbuat kebaikan/ibadah dengan maksud pamer kepada manusia, agar orang mengira dan memujinya sebagai orang yang baik atau gemar beribadah seperti shalat, puasa, sedekah, dan sebagainya.
6.      Bakhil dan kikir : satu penyakit hati karena terlalu cinta pada harta sehingga tidak mau bersedekah.

KASAB





Pengertian Kasab.

Kasab dari kata arab كسب yg berarti: usaha, bekerja atau mencari nafkah. Kasab bisa juga diartikan bisnis, dan tanpa kita sadari kegiatan bisnis ini berlangsung dari kita bangun tidur sampai tertidur lagi.

Dari imam Asy syaibani dinukil dari bukunya Dr. Ridjaluddin, Nuansa Ekonomi Islam, mendepinisikan Al-kasab sebagai mencari perolehan harta melalui berbagai cara yg halal. Pandangan ini berbeda dengan ekonomi konvensional yg mengartikan bisnis itu adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan modal yang sekecil-kecilnya.

Produksi suatu barang atau jasa itu dilakukan apabila dia memiliki unsur nilai guna (utility), dalam islam nilai guna itu diukur ketika barang atau jasa itu membawa nilai kemaslahatan, dan kemaslahatan itu tercapai dengan memelihara lima unsur, yaitu: agama, akal, jiwa, keturunan dan harta.
Pada dasarnya ada dua tujuan yg ingin dicapai oleh orang dalam berusaha yaitu, tujuan materialisme dan tujuan bernilai ibadah, karena kita umat islam yg kita cari berujung kepada ridho Allah semata.

Dari ibnu Umar, Rasulullah saw bersabda :
“Sesungguhnya Allah suka pada setiap mu’min yang berusaha, ayah dari beberapa anggota keluarga, dan Allah tidak suka pada penganggur yang sehat, tidak dalam amal dunia dan juga tidak pada amal akherat.”

Bekerja dan berusaha merupakan pondasi dasar dalam membuka pintu rezeki dari Allah swt. Maka dalam bekerja kita dianjurkan untuk:

1.      Tidak boleh menganggap remeh  (hina) pekerjaan atau usaha seseorang sekecil apapun, karena dengan bekerja akan mengurangi atau menghilangkan pengangguran.

Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya dari seseorang diantara kalian mencari kayu bakar yang di pikul diatas pundaknya itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain baik diberi ataupun tidak.”
( Hr. Bukhari, muslim,nasai dan tirmizi)

Dalam hadits lain dari Abu Hurairah rasulullah bersabda:
“Adalah nabi Daud As, tidak makan melainkan dari hasil usahanya sendiri.”
 ( Hr. Bukhari )

Dan diterangkan dalam Qs. Saba 34/10-11.
Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud kurnia dari Kami. (Kami berfirman): "Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud", dan Kami telah melunakkan besi untuknya,
(yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amalan yang saleh. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan".
 
 2.   Seoarng muslim dalam bekerja harus ikhlas hanya mencari ridho Allah semata.

 Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu adalah berhala, dan kamu membuat dusta[1146]. Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezki kepadamu; maka mintalah rezki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada- Nyalah kamu akan dikembalikan ( Qs. Al Ankabut 29:17)

Kasab atau berusaha (berbisnis) sangat penting, karena dengannya perekonomian manusia akan berputar, namun kita selaku mu’min harus senantiasa memperhatikan unsur halal dan haram, unsur maslahat dan mudaratnya, dan yg terpenting kita berusaha dalam rangka beribadah kpd Allah swt, dan dalam rangka menggapai ridhoNya.

Ayat-ayat al quran yang berkaitan dengan kasab.

Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. “ 
(Qs. Al Jumuah 62:10)

“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.”
(Qs. Al Mulk 67:15)

Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu adalah berhala, dan kamu membuat dusta[1146]. Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezki kepadamu; maka mintalah rezki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada- Nyalah kamu akan dikembalikan.” 
(Qs. Al Ankabut 29:17)

“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(Qs. Al Mujamil 73:20)

Selasa, 13 Desember 2016

Thalhah Bin Ubaidillah

Berikut Kisah Sahabat Nabi Yang Mati Syahid Tapi Masih Hidup :
 

Rasulullah bersabda : 
“Siapa yang ingin melihat orang berjalan di muka bumi setelah mengalami kematiannya, maka lihatlah Thalhah,”
 
Sejak saat itu bila orang membicarakan perang Uhud di hadapan Abu Bakar, maka beliau selalu menyahut, “Perang hari itu adalah peperangan Thalhah seluruhnya. Hingga akhir hayatnya, perjuangan sahabat mulia itu tak kenal henti. Sebuah sejarah besar diukir, sejarah itu bernama Thalhah bin Ubaidillah.”
Nama lengkapnya adalah Thalhah bin Ubaidillah bin Utsman bin Amru bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai. Ibunya bernama Ash-Sha’bah binti Abdullah bin Abbad bin Malik, saudara perempuan Al-‘Ala’ bin Al-Hadrami. Wanita ini telah menyatakan dirinya sebagai seorang muslimah.
Thalhah seorang pemuda Quraisy yang memilih profesi sebagai saudagar. Meski masih muda, Thalhah punya kelebihan dalam strategi berdagang, ia cerdik dan pintar, hingga dapat mengalahkan pedagang-pedagang lain yang lebih tua.
 
THALHAH MEMELUK ISLAM
 
Pada suatu ketika Thalhah bin Ubaidillah dan rombongan pergi ke Syam. Di Bushra, Thalhah bin Ubaidillah mengalami peristiwa menarik yang mengubah garis hidupnya.
Tiba-tiba seorang pendeta berteriak-teriak,
“Wahai para pedagang, adakah di antara tuan-tuan yang berasal dari kota Makkah?.”
“Ya, aku penduduk Makkah,” sahut Thalhah.
“Sudah munculkah orang di antara kalian orang bernama Ahmad?” tanyanya.
“Ahmad yang mana?“, Thalhah menjawab.
“Ahmad bin Abdullah bin Abdul Muthalib. Bulan ini pasti muncul sebagai Nabi penutup para Nabi. Tempat munculnya adalah tanah haram, kelak ia akan hijrah dari negerimu ke negeri berbatu-batu hitam yang banyak pohon kurmanya. Ia akan pindah ke negeri yang subur makmur, memancarkan air dan garam. Sebaiknya engkau segera menemuinya wahai anak muda,” sambung pendeta itu.
Ucapan pendeta itu begitu membekas di hati Thalhah bin Ubaidillah, hingga tanpa menghiraukan kafilah dagang di pasar ia langsung pulang ke Makkah. Setibanya di Makkah, ia langsung bertanya kepada keluarganya,
“Ada peristiwa apa sepeninggalku?”
“Ada Muhammad bin Abdullah mengatakan dirinya Nabi dan Abu Bakar bin Abu Quhafah telah mempercayai dan mengikuti apa yang dikatakannya,” jawab mereka.
“Aku kenal Abu Bakar. Dia seorang yang lapang dada, penyayang dan lemah lembut. Dia pedagang yang berbudi tinggi dan teguh. Kami berteman baik, banyak orang menyukai majelisnya, karena dia ahli sejarah Quraisy,” gumam Thalhah bin Ubaidillah lirih.
Setelah itu Thalhah bin Ubaidillah langsung mencari Abu Bakar As Siddiq.
“Benarkah Muhammad bin Abdullah telah menjadi Nabi dan engkau mengikutinya?“, Thalhah bertanya
“Betul.“, jawab Abu Bakar.
Thalhah segera menemui Abu Bakar untuk menanyakan kebenaran berita tersebut.
Thalhah bin Ubaidillah bercerita tentang pertemuannya dengan pendeta Bushra. Abu Bakar As Siddiq tercengang. Lalu Abu Bakar As Siddiq mengajak Thalhah bin Ubaidillah untuk menemui Muhammad dan menceritakan peristiwa yang dialaminya dengan pendeta Bushra. Di hadapan Rasulullah, Thalhah bin Ubaidillah langsung mengucapkan dua kalimat syahadat.
 
Tanggapan Keluarga Thalhah terhadap Keislamannya
 
Bagi keluarganya, masuk Islamnya Thalhah bin Ubaidillah bagaikan petir di siang bolong. Keluarganya dan orang-orang satu sukunya berusaha mengeluarkannya dari Islam. Mulanya dengan bujuk rayu, namun karena pendirian Thalhah bin Ubaidillah sangat kokoh, mereka akhirnya bertindak kasar.
Siksaan demi siksaan mulai mendera tubuh anak muda yang santun itu. Sekelompok pemuda menggiringnya dengan tangan terbelenggu di lehernya, orang-orang berlari sambil mendorong, memecut dan memukuli kepalanya, dan ada seorang wanita tua yang terus berteriak mencaci maki Thalhah bin Ubaidillah, yaitu ibunya, Sha’bah binti Hadramy, saudara dari seorang sahabat Rasulullah Saw, Ala’ bin Hadramy. Walau disakiti dan dipermalukan oleh orang yang sangat dicintai dan dihormatinya, keyakinan dan keimanannya tidak bergeming. Bagaimanapun juga Allah SWT dan Nabi SAW lebih dicintainya daripada ibu dan sanak keluarganya yang lain
Setelah keislamannya diketahui oleh orang-orang Quraisy, Nufail bin Khuwailid, salah seorang pembesar yang terkenal dengan sebutan ‘Singa Quraisy’ mencari-cari dirinya. Mereka bertemu Thalhah sedang berjalan dengan Abu Bakar yang segera saja keduanya ditangkap dan disiksa. Mereka berdua diikat dengan satu tambang, kemudian diancam dan diintimidasi. Tetapi mereka tidak berani bertindak terlalu keras dan kejam karena khawatir dengan pembalasan dari kabilahnya Abu Bakar dan Thalhah.
Setelah berbagai ancaman dilakukan, dari yang halus hingga keras tidak juga berhasil, akhirnya mereka melepaskannya kembali. Karena peristiwa ini, Abu Bakar dan Thalhah disebut sebagai ‘Al Qarinain’, artinya dua setangkai.
Thalhah bin Ubaidillah termasuk dalam as sabiqunal awwalin (kelompok yang pertama memeluk Islam), ia juga salah satu dari sepuluh sahabat yang memperoleh berita gembira masuk surga ketika hidupnya. Sembilan lainnya adalah empat sahabat Khulafaur Rasyidin, Abdurrahman bin Auf, Sa’d bin Abi Waqqash, Sa’id bin Zaid, Zubair bin Awwam dan Abu Ubaidah bin Jarrah.
 
Peran Thalhah dalam Perang Badar
 
Setelah hijrah ke Madinah, Thalhah hampir tidak pernah tertinggal berjuang bersama Rasulullah SAW, kecuali pada Perang Badar. Pada perang ini Thalhah dan Sa’id bin Zaid dikirimkan Rasulullah Saw untuk tugas mata-mata ke suatu tempat. Namun demikian beliau memasukkannya sebagai Ahlu Badar dan memberi mereka bagian dari ghanimah perang Badar. Ada delapan orang sahabat yang tidak secara langsung terlibat dalam perang Badar tetapi Rasulullah Saw menempatkannya sebagai Ahlu Badar sebagaimana pahlawan Badar lainnya, yang mendapat pujian dalam Al Qur’an. Selain Thalhah dan Sa’id bin Zaid, adalah Utsman bin Affan, Abu Lubabah, Ashim bin Adi, Harits bin Hathib, Harits bin Shimmah dan Khawwat bin Jubair R.Hum.
 
PERAN DAN GELAR THALHAH DALAM PERANG UHUD
 
Julukan Assyahidul Hayy, atau syahid yang hidup diperoleh Thalhah dalam perang Uhud. Saat itu barisan kaum Muslimin terpecah belah dan kocar-kacir dari sisi Rasulullah. Yang tersisa di dekat beliau hanya 11 orang Anshar dan Thalhah bin Ubaidillah dari Muhajirin. Rasulullah dan orang-orang yang mengawal beliau naik ke bukit tadi dihadang oleh kaum Musyrikin.
“Siapa berani melawan mereka, dia akan menjadi temanku kelak di surga,” seru Rasulullah. “Aku Wahai Rasulullah,” kata Thalhah bin Ubaidillah. “Tidak, jangan engkau, kau harus berada di tempatmu.“, Rasulullah berkata.
“Aku wahai Rasulullah,” kata seorang prajurit Anshar menjawab panggilan Rasulullah. “Ya, majulah,” kata Rasulullah. Lalu prajurit Anshar itu maju melawan prajurit-prajurit kafir. Pertempuran yang tak seimbang mengantarkannya menemui kesyahidan.
Rasulullah kembali meminta para sahabat untuk melawan orang-orang kafir dan selalu saja Thalhah bin Ubaidillah mengajukan diri pertama kali. Tapi, senantiasa ditahan oleh Rasulullah dan diperintahkan untuk tetap ditempat sampai 11 prajurit Anshar gugur menemui syahid dan tinggal Thalhah bin Ubaidillah sendirian bersama Rasulullah.
Saat itu Rasulullah berkata kepada Thalhah bin Ubaidillah,”Sekarang engkau, wahai Thalhah.”
Dan majulah Thalhah bin Ubaidillah dengan semangat jihad yang berkobar-kobar menerjang ke arah musuh dan menghalau agar jangan menghampiri Rasulullah. Lalu Thalhah berusaha menaikkan Rasulullah sendiri ke bukit, kemudian kembali menyerang hingga tak sedikit orang kafir yang tewas.
Diceritakan ketika tentara Muslim terdesak mundur dan Rasulullah SAW dalam bahaya akibat ketidakdisiplinan pemanah-pemanah dalam menjaga pos-pos di bukit, di saat itu pasukan musyrikin bagai kesetanan merangsek maju untuk melumat tentara muslim dan Rasulullah SAW, terbayang di pikiran mereka kekalahan yang amat memalukan di perang Badar. Mereka masing-masing mencari orang yang pernah membunuh keluarga mereka sewaktu perang Badar dan berniat akan membunuh dan memotong-motong dengan sadis.
Semua musyrikin berusaha mencari Rasulullah SAW. Dengan pedang-pedangnya yang tajam dan mengkilat, mereka terus mencari Rasulullah SAW. Tetapi pasukan muslimin dengan sekuat tenaga melindungi Rasulullah SAW, melindungi dengan tubuhnya dengan daya upaya, mereka rela terkena sabetan, tikaman pedang dan anak panah. Tombak dan panah menghunjam mereka, tetapi mereka tetap bertahan melawan kaum musyrikin Quraisy. Hati mereka berucap dengan teguh, “Aku korbankan ayah ibuku untuk engkau, ya Rasulullah”.
Salah satu diantara mujahid yang melindungi Nabi SAW adalah Thalhah. Ia berperawakan tinggi kekar. Ia ayunkan pedangnya ke kanan dan ke kiri. Ia melompat ke arah Rasulullah yang tubuhnya berdarah. Dipeluknya Beliau dengan tangan kiri dan dadanya. Sementara pedang yang ada ditangan kanannya ia ayunkan ke arah lawan yang mengelilinginya bagai laron yang tidak memperdulikan maut. Alhamdulillah, Rasulullah selamat. Sejak peristiwa Uhud itulah Thalhah mendapat julukan “Burung elang hari Uhud.”
Saat itu  Abu Bakar dan Abu Ubaidah bin Jarrah yang berada agak jauh dari Rasulullah telah sampai di dekat Rasulullah. “Tinggalkan aku, bantulah Thalhah, kawan kalian,” seru Rasulullah.
Keduanya bergegas mencari Thalhah bin Ubaidillah, ketika ditemukan, Ia dalam keadaan pingsan, sedangkan badannya berlumuran darah segar. Tak kurang 79 luka bekas tebasan pedang, tusukan lembing dan lemparan panah memenuhi tubuhnya dan jari tangannya putus.”
Keduanya mengira Thalhah sudah gugur, ternyata masih hidup. Karena itulah gelar syahid yang hidup diberikan Rasulullah. “Siapa yang ingin melihat orang berjalan di muka bumi setelah mengalami kematiannya, maka lihatlah Thalhah,”sabda Rasulullah.
Sejak saat itu bila orang membicarakan perang Uhud di hadapan Abu Bakar As Siddiq, maka beliau selalu menyahut, “Perang hari itu adalah peperangan Thalhah seluruhnya hingga akhir hayatnya.”
 
PRIBADI YANG PEMURAH DAN DERMAWAN
 
Kemurahan dan kedermawanan Thalhah bin Ubaidillah patut kita contoh dan kita teladani. Dalam hidupnya ia mempunyai tujuan utama yaitu bermurah dalam pengorbanan jiwa. Thalhah  bin Ubaidillah merupakan salah seorang dari sepuluh orang yang pertama masuk Islam, dimana pada saat itu satu orang bernilai seribu orang.
Sejak awal keislamannya sampai akhir hidupnya dia tidak pernah mengingkari janji. Janjinya selalu tepat. Ia juga dikenal sebagai orang jujur, tidak pernah menipu apalagi berkhianat. Pernahkah anda melihat sungai yang airnya mengalir terus menerus mengairi dataran dan lembah? Begitulah Thalhah bin Ubaidillah. Ia adalah seorang dari kaum muslimin yang kaya raya, tapi pemurah dan dermawan.
Pernah Thalhah berhasil menjual tanahnya dengan harga tinggi sehingga harta bertumpuk di rumahnya, maka mengalirlah air matanya, dan ia berkata,
“Sungguh, jika seseorang ‘dibebani’ bermalam dengan harta sebanyak ini dan tidak tahu apa yang akan terjadi, pastilah akan mengganggu ketentraman ibadahnya kepada Allah…!”
Malam itu juga ia memanggil beberapa sahabatnya dan membawa harta tersebut berkeliling di jalan-jalan di kota Madinah untuk membagikan kepada yang memerlukan. Sampai fajar tiba belum habis juga, dan diteruskan  setelah shalat subuh hingga menjelang siang. Ia baru merasa lega setelah tidak tersisa lagi walau hanya satu dirham.
Assaib bin Zaid berkata tentang Thalhah bin Ubaidillah, katanya, “Aku berkawan dengan Thalhah baik dalam perjalanan maupun sewaktu bermukim. Aku melihat tidak ada seorangpun yang lebih dermawan dari dia terhadap kaum muslimin. Ia mendermakan uang, sandang dan pangannya.”
Jaabir bin Abdullah bertutur, “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih dermawan dari Thalhah walaupun tanpa diminta.”
Oleh karena itu patutlah jika dia dijuluki “Thalhah si dermawan”, “Thalhah si pengalir harta”, “Thalhah kebaikan dan kebajikan”.
 
WAFATNYA THALHAH BIN UBAIDILLAH
 
Berlalulah waktu, Rasulullah wafat dan digantikan Abu Bakar, Abu Bakar wafat dan digantikan oleh Umar. Selama itu irama hidupnya tidak banyak berbeda, memanggul senjata untuk menegakkan panji Islam atau menjalankan perniagaannya. Selama itu pula ia terus menunggu kapan penantiannya akan berakhir? Kapan “syahid” yang berjalan di muka bumi (yakni dirinya, sebagaimana disebut Rasulullah Saw)  akan menjadi benar-benar syahid?
Thalhah akhirnya menemui syahidnya di perang Jamal di masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Ironinya, dalam peperangan tersebut ia bersama Zubair bin Awwam dan Ummil Mukminin Aisyah memimpin pasukan dari Bashrah  untuk melakukan perlawanan kepada Ali bin Abi Thalib, dengan dalih menuntut balas kematian Utsman. Padahal beberapa waktu sebelumnya mereka ikut memba’iat Ali sebagai khalifah. Inilah memang dahsyatnya bahaya fitnah, sehingga orang-orang terpilih di masa Rasulullah SAW saling berperang satu sama lainnya.
Ada perbedaan pendapat tentang syahidnya Thalhah. Satu riwayat menyebutkan, ketika pertempuran mulai berlangsung dan dari kedua pihak berjatuhan korban tewas, Ali menangis dan menghentikan pertempuran, padahal saat itu posisinya dalam keadaan menang. Ali meminta kehadiran Thalhah dan Zubair untuk melakukan islah. Ali mengingatkan Thalhah dan Zubair berbagai hal ketika bersama Rasulullah SAW, termasul ramalan-ramalan beliau tentang mereka bertiga. Thalhah dan Zubair menangis mendengar penjabaran Ali dan seolah diingatkan akan masa-masa indah bersama Rasulullah SAW. Apalagi saat itu mereka melihat Ammar bin Yasir ikut bergabung dalam pasukan Ali. Masih jelas terngiang di telinga mereka sabda Nabi SAW ketika kerja bakti membangun masjid Nabawi, “Aduhai Ibnu Sumayyah (yakni, Ammar bin Yasir), ia akan terbunuh oleh kaum pendurhaka…..!!”
Kalau terus memaksakan pertempuran ini, jangan-jangan mereka menjadi “kaum pendurhaka” tersebut. Thalhah dan Zubair memutuskan menghentikan pertempuran dan ia menyarungkan senjatanya, kemudian  berbalik menemui pasukannya. Tetapi ada anggota pasukan yang tidak puas dengan keputusan ini dan mereka  memanah dan menyerang keduanya hingga tewas. Sebagian riwayat menyebutkan penyerangnya dari pasukan Ali, riwayat lain dari pasukan Bashrah sendiri.
Sedangkan riwayat lain menyebutkan, pertempuran berlangsung seru dan pasukan Bashrah dikalahkan oleh pasukan Ali, Thalhah dan Zubair bin Awwam gugur menemui syahidnya.
Sewaktu terjadi pertempuran “Aljamal (Perang Unta)” tersebut, sebuah panah beracun mengenai betisnya, maka dia segera dipindahkan ke Basrah dan tak berapa lama kemudian karena lukanya ia wafat. Thalhah bin Ubaidillah wafat pada usia enam puluh tahun dan dikubur di suatu tempat dekat padang rumput di Basrah.
Dia wafat dalam usia lebih kurang 60 tahun.Talhah bin Ubaidillah meninggal dunia pada tahun 36 Hijrah bersamaan 656 Masehi.
Sesungguhnya Thalhah bin Ubaidillah berharap bisa gugur ketika berjuang bersama Rasulullah saw saat menghadapi musuh Islam. Namun, ketentuan Ilahi menghendaki dia tewas di tangan orang Islam sendiri.
Rasulullah pernah berkata kepada para sahabat, “Orang ini termasuk yang gugur dan barang siapa senang melihat seorang syahid berjalan diatas bumi maka lihatlah Thalhah bin Ubaidillah”.
 
Hal itu juga dikatakan ALLAH SWT dalam firmanNya :
    “Diantara orang-orang Mu’min itu terdapat sejumlah laki-laki yang memenuhi janji-janji mereka terhadap Allah. Di antara mereka ada yang memberikan nyawanya, sebagian yang lain sedang menunggu gilirannya. Dan tak pernah mereka merubah pendiriannya sedikit pun juga!” (QS. Al-Ahzaab: 23).(disarikan dari nabilmufti.wordpress.com)